Perjuang Tak Kenal Batasan
Nama : Oktavia El Shara
Kelas : XII MIPA-10
No. Urut : 23
Dalam rangka memenuhi tugas Bahasa Indonesia. Saya menuliskan sebuah teks cerita sejarah mengenai pahlaman nasional asal korea. Berikut ini fakta-fakta mengenai Yang Chil Seong.
- Yang Chil Seong lahir pada tanggap 29 Mei 1919. ia berasal dari Wanjoo, Provinsi Jeolla Utara, Korea Selatan
- Pada tahun 1942, ia bersama pemuda korea lainnya menjadi tahanan Jepang dan dipaksa ikut wajib militer, kemudian mereka dijadikan petugas tahanan penjara.
- Pada Juli 1942,Yang Chil Seong pergi ke busan untuk dilatih menjasi pasukan Noguchi. Pada bulan Agustus pasukan Noguchi berangkat ke daerah jajahan Jepang termasuk Nusantara. Yang Chil Seong di tugaskan di Pulau Jawa.
- Yang Chil Seong memiliki kemampuan dalam merakit bom dan mengoprasikan senjata, ia juga memiliki kemampuan dalam berbahasa yang bagus.
- Yang Chi Seong memiliki tiga nama, yaitu Yanagawa Sichisci (Jepang), Yang Chil Seong (Korea), dan Komaruddin (Indonesia).
- Ia menikah dengan gadis asal indonesia bernama Lience Wenas dan menetap di Bandung. Mereka dikaruniai anak bernama Eddy Jawa.
- Belum lama ia dan Lience menikah, Jepang takluk kepada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Yang Chil Seong memilih bergabung dengan pasukan gerilya di Garut bernama Pasukan Pangeran Pakpak yang dipimpin oleh Mayor Saoed Moestofa Kosasih.
- Saat detik-detik ia dihukum mati oleh Belanda ia menyerukan kata "MERDEKA"
- Ia dikebumikan secara islam di Pemakaman Pasirpogor. Dan setelah 27 tahun kemudian dipindahkan ke Tamana Makam Pahlawan Tenjolaya Garut.
Perjuang
Tak Kenal Batasan
Di ruangan yang penuh penderitaan dan kesengsaraan aku menjalankan
rutinitas kerjaku, menjaga tahanan penjara Jepang. Aku menatap lamat-lamat ke
luar lubang udara yang menghubungkan ruang ini dan dunia luar. Berharap
menemukan keindahan di luar sana. Pada kenyataanya atmosfer kesengsaraan
menyelimuti setiap titik di tanah ini. Di mataku dunia hanya monokrom. Bungan
bermekaran pun tak memberi warna pada hidupku.
Kesedihan, kekecewaan, ketakutan, dan kerinduan dalam diriku berkecamuk
seperti situasi kala ini. Penjajahan Jepang terhadap negara asalku di Korea dan
di tanah pulau jawa tak ada bedanya. Hanya membawa badai kesengsaraan bagi para
pribumi. Menggoreskan sebuah trauma bagi para korban kekejaman penjajah.
Aku bahkan sudah lupa perasaanku
saat masih berpijak pada tanah asalku, Korea. Memori yang tertanam jelas di
kepalaku adalah ketika tubuhku melangkah meninggalkan keluargaku di Wanjoo pada
bulan Juni 1942 silam. Saat itu tak ada pilihan lain selain mengikuti perintah
kaisar agar keluargaku tidak menjadi korban akibat keegoisanku. Aku pergi
menuju kota Busan untuk dilatih menjadi prajurit Jepang. Dan disinilah aku
berakhir, menjadi tahanan dari Jepang dan dipaksa menjadi penjaga tahanan di
Pulau Jawa. Banyak pemuda yang menjadi korban dari penjajahan Jepang yang
bernasib sama denganku.
“ Sichisci!! Bawa tahanan nomor 145
ke ruang pengadilan sekarang juga!!” Seorang petugas Jepang bernama Daichi memerintahku.
“ Baik, Laksanakan!!” Jawabku
lantang tak lupa memberikan hormat kepadanya.
Seperti mesin yang sudah dirancang
oleh penciptanya. Tubuhku langsung bergerak begitu perintah itu dilontarkan.
Kutelusuri jalan tahanan yang sudah kuhapal selama tiga tahun ini. Langkahku
terhenti di depan sebuah sel tahanan. Di sinilah tahanan nomor 145 berada.
Gembok pintu penjara langsung terbuka dengan cepat oleh tanganku yang terbiasa
melakukan tugasnya. Kubuka pintu tahanan tersebut. Kuhela napasku untuk
mempersiapkan diri memandang pemandangan miris dibalik pintu jeruji besi ini.
Benar saja dugaanku, pemandangan menyayat hati memenuhi pandanganku.
Mereka para tahanan diperlakukan bak seekor hewan. Bau tak sedap menusuk
hidungku begitu kakikku melangkah masuk ke dalam ruang tahanan yang gelap nan sempit.
Sudah menyerupai kandang hewan di luar sana.
“Tahanan nomor 145, Parkiman. Mohon untuk menghadap saya.” Kupanggil
nama yang sudah kuhapal.
“Tahanan nomor 145, Parkiman.” Aku mengulangi ucapanku.
“Dia meringkuk di pojok ruangan” seorang tahanan lain berseru sebari
menunjuk pojok ruangan.
Kulangkah kakikku mendekati pojok
ruangan yang ditunjuk oleh tahanan tersebut. Hanya kegelapan yang dapat dilihat
oleh mataku. Perlahan aku semakin mendekati pojok ruangan dan nampak samar-samar seseorang yang sedang
tertidur meringkuk. Hatiku teriris melihat keadaaan tahanan bernama Parkiman.
Tubuhnya kurus kering menyisakan tulang, bagai ranting dedaunan di musim
kemarau. Tubuhnya meringkuk di atas dinginnya lantai sel tahanan.
“ Pak, Pak Parkiman. Mari ikut saya.” Aku menepuk pelan lengannya.
“ Nagawa, tolong bantu aku mengangkat
Pak Parkiman.” Pintaku kepada kawan kerjaku yang ikut bersamaku.
Nagawa dengan cepat bergerak membantuku mengangkat Pak Parkiman untuk
berjalan. Tubuhnya yang ringan, seringan helaian bulu angsa terhuyung-huyung
melangkah keluar ruang tahanan. Setelah tertatih-tatih akhirnya kami sampai di
hadapan petugas Daichi. Muka petugas Daichi Nampak memerah. Matanya menyiratkan
kemarahan. Rahangnya mengeras terdengar gemeretak gigi. Ia murka dengan
keterlambatan kami.
Kami mengantarkan Pak Parkiman ke ruang pengadilan. Setelah
diperintahkan kembali kami melangkah menjauhi ruangan terkutuk tersebut. Baru
saja aku tiba di ruang jagaku. Tepatnya di ruang jenguk tahanan. Terdengar
irama langkah yang entah bagaimana terdengar indah bagiku. Aku mengetahui sosok
yang kian lama kian mendekat. Dan benar saja ketika kualihkan wajahku ke arah
sumber derap langkah tersebut. Mataku bertatapan dengan sosok tersebut. Sosok
yang selama ini selalu aku tunggu kehadirannya.
Akhir-akhir ini gadis itu menjadi mata air ditengah teriknya gurun yang
luas. Gadis pribumi yang selalu menunjukkan sisi lemah lembutnya. Gadis yang
wajahnya bersinar dimataku. Gadis yang senyumnya membawa angin sejuk di hatiku.
Gadis yang sangat ingin kutanyai namanya. Hampir setiap harinya ia datang ke
tempat tahanan Jepang ini. Gadis itu tiba di depan meja tempatku berjaga. Aku
hapal betul kalimat yang akan diucapkannya.
“Permisi, apakah saya bisa bertemu tahanan 59 ?” Suara lembutnya
membelai telingaku.
“Ya, Ten..Tentu. Tunggu sebentar biar saya bawa dia ke sini.” Senyumnya
membuatku sedikit gugup
“Baik, terimakasih atas bantuannya.” Senyumnya mengembang membuat hatiku
berdebar-debar
Aku bergegas membalikkan menyembunyikan rasa gugupku. Aku melangkah
menjauhi gadis tersebut. Sebuah senyuman menghiasi wajahku. Hatiku rasanya
sedang menari-nari bahagia. Seketika jalan yang gelap dan kotor ini tampak
seperti padang bunga yang indah. Senyumannya saja mampu membuat duniaku
berwarna. Jika aku bisa mengenalnya lebih jauh. Mungkin duniaku akan berubah
menjadi dunia khayalan yang dipenuhi hal indah.
Langkahku terhenti di depan ruang tahanan 16. Pria yang selalu ia cari
ada di ruang ini. Seketika dadaku terasa gatal. Sebuah rasa cemburu menyeruak
di dalam diriku. Terdengar derit pintu ketika aku membuka pintu sel tahanan
tersebut. Pria yang selalu dipanggil “kang” oleh gadis itu sedang terduduk
berbicang bersama tahanan yang lain.
Sepertinya ia sudah hapal jika pintu terbuka maka seorang gadis sedang
menunggunya di ruang jenguk. Ia langsung berdiri dan melangkah mendekatiku.
Keadaanya tidak jauh berbeda dari tahanan lainnya, kumal. Tapi tubuhnya tidak
sekurus tahanan lainnya. Ia menatapku dengan senyuman.
“Ia datang lagi bukan?” Pertanyaan yang sudah jelas ia tau jawabannya.
Aku hanya menganggukkan kepalaku. Membuka jalan untuknya berjalan keluar
tahanan. Mataku menatap senyum di wajahnya ketika melangkah melewatiku. Rasa
cemburu dalam diriku semakin menggebu-gebu. Dalam benakku aku bertanya-tanya
siapakah gerangan pria ini? Apakah dia kekasihnya atau bukan? Pertanyaan itu
berputar bak komedi putar dalam kepalaku. Derap langkah kami mengiri keheningan
banguanan ini.
“Dia adikku, sudah kuperingati untuk tidak perlu datang ke sini setiap
hari. Ia sama keras kepalanya denganku.” Kalimat yang terlontar dari tahanan nomor
59 menjawab pertanyaan yang ada di benakku.
“Kau anak yang baik, tak seharusnya kau ada disini.” Sambungnya diakhiri
tepukan di pundakku.
Tahanan 59 memasuki ruang jenguk disambut oleh senyuman gadis itu.
Tersirat kesedihan, kebahagiaan, dan kekhawatiran dalam wajah gadis itu. Gadis
itu bahagia bertemu kakaknya. Ya, kakaknya. Dengan bodohnya aku merasa cemburu
terhadap pria tersebut yang ternyata kakak dari gadis tersebut. Seketika rasa
malu menyelimutiku. Aku seperti orang bodoh yang dibutakan oleh cinta.
Seperti biasa aku berdiri di depan pintu ruang jenguk. Menunggu
percakapan kakak beradik tersebut selesai. Sayup-sayup ku dengar percakapan
penuh perhatian dari kakak beradik tersebut. Tiba-tiba suara percakapan itu
hilang. Disambung dengan suara derap langkah mendekati pintu ruangan. Aku
mengetahui bahwa sesi pertemuan mereka telah berakhir. Aku menyadari bahwa
gadis itu akan pulang setelah bertemu dengan kakaknya. Kubuka pintu ruangan dan
pria tersebut tersenyum kearahku. Tanpa adanya percakapan kami bergegas
berjalan menuju ruang tahanan 16. Saat pria itu memasuki ruangan ku kunci pintu
tahanan tersebut dan kembali ke ruang jenguk.
Aku memasuki ruangan dengan rasa kecewa. Karena kutahu gadis itu telah
pergi meninggalkan ruangan. Betapa terkejutnya saat mataku menangkap sesosok
gadis yang kukira telah pergi. Ia langsung berdiri dari posisi duduknya.
Tubuhnya sedikit membungkuk seperti mengambil sesuatu. Saat tubuhnya kembali
tegak. Tangannya mengulurkan sebuah tempat makan.
“Hatur nuhun kang. Ini ada makanan buat akang sebagai tanda terimakasih
saya dan kakak saya.” Ucapnya diakhiri sebuah senyuman terindah yang pernah aku
lihat.
“Sok atuh kang, diambil makanannya.” Tangannya mengankat wadah makanan
ke arahku
“Saya hanya menjalankan tugas saya.” Jawabku dengan malu-malu.
“Tidak apa-apa ini ambil saja makanannya. Saya sudah buatkan lebih buat
akang.” Ia meletakkan wadah tersebut dimeja.
“ Baik kalau begitu, terimakasih atas makanannya.” Aku berucap sebari
mengambil wadah di meja.
“ Saya pamit dulu ya, kang.” Tubuhnya berbalik menuju pintu keluar
tahanan.
“Tunggu dulu, boleh saya tahu namamu?” aku tersentak dengan pertanyaan
yang keluar dari mulutku sendiri.
Ucapanku mampu menghentikan langkah kakinya. Perlahan tubuhnya berbalik
menghadapku. Senyuman indah itu kembali menghiasi wajahnya.
“Nama saya lience Wenas. Akang namanya Sichisci ya, kang?” diluar
dugaanku ia mengetahui namaku.
“ Oh, i..ya sa..ya Yanagawa Sichisci.” Jawabku terbata-bata.
“ Ya sudah, saya pamit dulu, kang Sichisci.” Ia berpamitan kembali tapi
kali ini ia menyebut namaku dalam pamitnya.
“ Iya, hati-hati di jalan, Lience.” Tak terduga aku menyebut nama gadis
itu, gadis yang selama ini kukagumi.
Sebelum tubuhnya berbalik, ia tersenyum kearahku. Aku menjadi semakin
salah tingkah dibuatnya. Aku hanya memandangi tubuhnya menjauhiku. Menghilang
setelah keluar dari ruangan. Jantungku berdetak seolah ia ingin keluar dari
dadaku. Wajahku terasa sangat panas. Di tempat ini memang panas tapi wajahku
terasa sangat panas. Aku salah tingkah mengingat kejadian yang baru saja
terjadi. Kupandangi wadah yang kugenggam. Wadah makanan yang berisi masakan Lience.
Ingin rasanya aku menari saat kupikirkan namanya. Lience wenas. Nama yang indah
sesuai dengan rupa pemiliknya.
Kusimpan wadah makanan tersebut diatas meja kecil di pojok ruangan. Aku
kembali berkutat dengan pekerjaanku. Tak henti-henti aku menatap wadah putih
dari Lience. Tak sabar rasanya aku ingin menyicipi masakan Lience. Aku tahu
masakannya akan terasa enak. Suara bel pergantian sesi jaga berbunyi.
Menyatakan tugasku hari ini telah selesai. Kali ini aku bertukar dengan kawanku
Jong Yeol. Dia sama sepertiku. Seorang pemuda korea yang menjadi korban
penjajahan Jepang.
“Hey, kau Chil Seong.” Sapa kawanku Jong Yeol yang baru memasuki
ruangan.
“Kenapa kau senyum-senyum sendiri sejak tadi kupandang.” Godanya
menyenggol bahuku.
“Tidak, sepertinya kau salah lihat.” Aku mambantah ucapan Jong Yeol
karena malu.
“Sudahlah, aku mau pulang ke tenda. Lelah sudah aku bekerja hari ini.
Kau selamat bekerja.” Aku mengambil wadah putih berisi makanan yang diberikan Lience
dan bergegas pergi keluar ruangan sebari melambaikan tangan.
Jong Yeol mengangkat tangannya. Menjawab lambaian tanganku. Hatiku
berdebar-debar. Tak sabar merasakan masakan dari Lience. Petugas lain pulang
dengan wajah lelahnya. Aku pun lelah seperti mereka. Namun berkat sebuah wadah
putih mampu menghilangkan rasa lelahku dalam sekejap. Aku tak tahu perasaan
kurasakan ini. Kebahagiaan yang kuperoleh dari gadis manis bernama Lience.
Aku menyingkap tenda tempatku dan beberapa petugas beristrirahat. Hanya
temaram lampu pijar yang menerangi di dalam tenda. Nampak beberapa petugas sedang
menyiapkan makanan yang dibuat oleh petugas piket. Petugas piket yang kumaksud
petugas tahanan Jepang yang sedang bertugas memasak makanan untuk semua petugas
lainnya. Makanan yang tersaji pun kurang dari kata layak. Penjajah Jepang tak
peduli dengan kebutuhan kami. Mereka jarang mengirim makanan ke tenda para
petugas tahanan.
Perlakuan mereka kepada kami tak jauh berbeda seperti tahanan di penjara
sana. Nampaknya rasa kemanusiaan mereka tertinggal di negara asalnya. Kami para
petugas tahanan yang dipaksa bekerja dibawah mereka, harus mencari cara
bertahan hidup sendiri. Untungnya seorang dari kami yang bernama Ahn Seung Gap
berinisiatif membuat perkumpulan bagi warga Korea yang menjadi petugas tahanan
di tempat ini. Tak hanya berisikan orang Korea, ia memasukkan siapa saja yang
menjadi korban dari Jepang.
Ia seorang pemimpin yang bijaksana, pemberani, dan peduli sesama. Dahulu
saat kami hampir mati kelaparan, ia mengusulkan pembentukan petugas piket.
Petugas ini akan memiliki tugas berbeda setiap harinya. Ada yang bertugas
sebagai penyedia keperluan pangan, sandang, dan lainnya. Awalnya kami kesulitan
karena kami orang asing di tanah ini. Tapi dengan semangat yang ia sebarkan,
kami berhasil bangkit perlahan dari penderitaan bertubi-tubi.
Para petugas yang pulang bekerja bergegas membersihkan diri di sungai
kecil di belakang tenda. Aku menyimpan wadah putih berisi makanan di atas
ranjangku. Menatapnya lamat-lamat. Membayangkan pemilik wadah tersebut. Setelah
terpaku beberapa detik aku bergegas ke belakang tenda. Membawa pakaian ganti di
pundakku. Kulitku terasa linu ketika air sungai yang dingin mengguyur badanku
yang letih. Dingin semakin menusuk dengan hembun angin malam menerpa kulitku.
Ku kenakan semua pakaianku dan bergegas kembali ke tenda menyimpan
seragam kerjaku. Nampaknya semua petugas sudah berkumpul di api unggun. Aku
bergegas melangkah meninggalkan tenda menuju api unggun. Tak lupa membawa wadah
putih yang dibawa Lience. Aku duduk tepat di sebelah Aoki dan nagawa. Kami
menunggu semua petugas berkumpul sebelum membagikan jatah makanan kami. Makanan
yang tersaji di depan kami jauh dari kata cukup. Aku ingin menikmati makanan
yang dibawa lience sendirian. Tetapi aku tak mungkin membiarkan perutku kenyang
sedangkan kawanku kelaparan.
“Nawaga, kau ambil sedikit masakan ini dan berikan ke kawan sebelahmu.”
Aku menyodorkan wadah putih tersebut.
“Kenapa tak kau makan sendiri? Ini kan pemberian untukmu.” Nagawa ragu
menerima wadah tersebut.
“ Kalau aku mencoba makanannya yang lain juga harus mencobanya. Jangan
kau suruh aku jadi orang egois seperti orang-orang jepang itu.” Candaku sambil
kuletakkan sedikit makanan di tempat makan nagawa.
“ hahaha.. kau ini. Kau orang yang baik tak seperti mereka.” Ucap nagawa
sebari memberikan wadah putih tersebut ke sampingnya.
Sepertinya Lience paham keadaan kami di sini. Wadah yang dia bawa cukup
besar dan cukup untuk berbagi dengan petugas lain. Mengingat hal itu membuat
hatiku semakin luluh. Segala yang ada padanya indah, namanya, wajahnya, dan
hatinya. Kami menghabiskan setiap suap makanan. Tak banyak berbicara saat
bersantap. Kami hanya ingin cepat-cepat menyelesaikan makanan agar bisa
meringkuk di kasur kami masing-masing.
Api unggun semakin meredup. Angin malam pun semakin terasa dinginnya.
Tak jarang petugas menggigil sebari menyantap makanan kami. tubuh kami yang
kurus tak bisa menahan dinginnya tusukan angin malam. Satu persatu petugas menyelesaikan
makanannya. Mereka membersihkan wadah makan di sungai dan memasuki tenda
masing-masing. Aku menyelesaikan makananku dan mencuci wadah makanku beserta
wadah putih yang akan ku kembalikan besok siang kepada Lience.
Kupastikan setiap inci wadah putih itu bersih tanpa noda. Hatiku
berdebar mengingat rasa masakan yang kucicipi tadi. Hanya sedikit tapi rasanya
sangat lezat. Ku bawa wadah itu bersamaku menuju tenda. Kusimpan wadah itu di
samping kasurku. Aku bersama beberapa petugas lain bersiap untuk beristrirahat
sebelum bekerja esok hari. Ketika mataku terpejam terbayang cantiknya paras
seorang Lience.
***
Matahari tetap bersinar terik memperjelas mirisnya keadaan kami sebagai
tahanan Jepang. Aku sudah berkeliling hutan sejak pagi tadi. Memungut potongan
ranting untuk persediaan di tenda. Aku dan beberapa kawanku sudah menyimpan
hasil kayu kami ke tenda persediaan. Tubuhku sudah dibalut seragam dengan rapi.
Walaupun tetap saja terlihat kotor. aku menggenggam erat wadah putih milik Lience.
Berangkat ke pos tahanan dengan senyum mengembang.
“Chil Yeong, ada apa denganmu hari ini? Nampaknya kau sedang bahagia.”
Tanya seorang petugas yang sedang mengenakan sepatunya.
“ Kawan kita ini sedang kasmaran. Hahaha…” ucap Nagawa menggodaku.
“ Diam kau! Jangan meledekku!” ucapku lantang dengan nada bergurau.
Wajahku memerah mendengar seruan olok-olok dari beberapa petugas yang
kulalui. Dasar Nagawa, membuatku malu saja. Posisiku semakin menjauh dari
tenda. Siang ini langkahku menuju pos tahanan diselimuti kebahagiaan.
Membayangkan dapat bertemu Lience saja membuatku tersipu malu. Sepertinya aku
sudah berubah menjadi orang yang dibutakan oleh cinta. Buktinya aku melupakan
sejenak kekejaman petugas Jepang kepada kami para tahanan jajahan.
Aku memberi hormat kepada setiap orang Jepang yang kutemui. Jangan
sampai hariku hancur karena kesalahan sepele yang aku lakukan. Aku tak mau
pipiku memerah ditampar oleh pasukan Jepang. Setidaknya aku harus terlihat
keren di depan Lience. Begitulah isi pikiranku siang ini. Perlahan aku membuka
pintu ruang jenguk. Kulihat Jong Yeol yang terduduk lelah di kursinya. Keinginanku
untuk berbagi cerita kuurungkan.
“ Hai kawan. Nampaknya kemarin kau bekerja sangat keras.” Sapaku sebari
meletakkan wadah putih milik Lience di meja kecil pojok ruangan.
“ Ya, kemarin banyak petugas yang menyuruhku membawa tahanan ke ruang
pengadilan.” Jawabnya dengan lesu.
“ Sudahlah kawan, kau butuh istirahat. Sekarang kau pulang saja ke tenda
dan beristrirahatlah.” Aku menepuk lembut bahunya.
Ia bangkit dari duduknya dengan helaan napas. Harinya cukup berat
sepertinya. Kupandangi sahabatku melangkah ke luar ruangan sebari melambaikan
tangan. Aku membalas dengan lambaian tangan walaupun aku tahu ia tak
melihatnya. Tugasku dimulai dengan perintah para petugas untuk membawa tahanan
ke ruang pengadilan. Tak terhitung sudah berapa kali aku mengantar tahanan.
Setiap melewati pos jenguk aku menoleh berharap ada sesosok Lience di sana.
Tepat setelah adzan ashar berkumandang. Sosok yang kutunggu kehadirannya
sudah berdiri di depan meja pos jenguk tahanan. Setelah aku mengantarkan
tahanan ke dalam sel tahanannya. Aku bergegas mendatangi Lience yang duduk
sebari memegang wadah makanan untuk kakaknya. Perlahan aku memasuki ruangan.
Mata kami saling beradu pandang dan kami langsung memalingkan wajah kami
masing-masing. Wajahku memanas dan jantungku berdebar-debar.
Jantungku tidak mau tenang sejak mata kami saling beradu. Aku memanggil
kakak Lience untuk bertemu dengan Lience. Sepanjang jalan aku hanya menunduk malu.
Seperti biasanya aku menunggu di luar ruangan sementara kakaknya Lience masuk
ke dalam ruangan. Aku tak sabar untuk menatap paras cantik milik Lience di
balik pintu ini.
Aku terlalu sibuk berkhayal memilirkan Lience di benakku hingga
melupakan tugasku. Ternyata mereka sudah selesai berbincang, kakaknya Lience
tersenyum menatapku. Aku semakin salah tingkah. Aku sudah tau apa yang harus
aku lakukan. Kami berjalan menyusuri koridor menuju ruang sel tahanan nomor 16.
“ Menurutmu adikku cantik bukan?” Pertanyaan itu tiba-tiba terlontar
dari mulut kakak Lience.
“i..i..i..ya..” ucapku pelan tebata-bata.
“ Apa kau menyukainya? Aku selalu melihat kau mencuri-curi pandang
terhadap adikku.” Ia berkata sebari menoleh kearahku.
“ Tak apa, aku tak akan marah jika kau mengakui kau menyukainya. Aku tau
kau anak yang baik. Sikapmu beretika tak seperti mereka. Aku sudah
mengizinkanmu mendekati adikku.” Ucapan itu berhasil membuat jantungku berhenti
berdetak.
“ Nampaknya ia juga tertarik padamu. Aku hanya berpesan tolong jaga
adikku jika kelak kau memilih bersama dengannya.” Ia tersenyum sebelum memasuki
sel tahanan sebari menepuk pundakku pelan.
Tubuhku terbujur kaku mendengar ucapan yang terlontar dari mulut kakak
Lience. Lience tertarik padaku? Seperti sebuah ucapan sihir yang mampu membuat
tubuhku seolah melayang tinggi. Sepanjang jalan menuju pos jenguk aku
disibukkan dengan khayalanku tentang Lience. Hingga saat aku tiba di ruangan
pos jenguk. Sosok Lience sedang duduk menatap dua wadah makanan di pangkuannya.
Aku teringat akan wadah putih kemarin. Kuambil wadah itu di atas meja kecil.
“Ini wadah yang kemarin. Terimakasih atas makananya. Kami para petugas
menyukainya.” Aku menyodorkan wadah putih yang sudah kucuci bersih pagi tadi.
“ Ah, iya. Ini ada makanan untuk akang dan para petugas tahanan.” Wajah
lience Nampak memerah tersipu saat mengambil wadah putih tersebut.
“ Tidak perlu repot-repot seharusnya. Tapi terimakasih atas makanannya.”
Aku menerima wadah yang Lience sodorkan.
“Ah iya, apakah besok pagi kamu sibuk?” Pertanyaan itu tiba-tiba
terlontar dari mulutku.
Kesunyian menyelimuti kami berdua. Kami tak berani menatap satu sama
lain. Aku masih terkejut dengan pertanyaan yang aku lontarkan kepada Lience.
“ Se..seperti..nya sa..ya tidak ada acara besok pagi.” Jawabnya
tebata-bata sebari menunduk menutupi wajahnya yang tersipu malu
“ Baiklah, aku akan menunggumu di depan pos tahanan besok pagi.” Ucapku
diselimuti rasa malu
Wajahnya masih menunduk tetapi kepalanya mengangguk. Dalam hatiku aku bersorak
bahagia. Lience dengan malu-malu pamit kepadaku dan melangkah ke luar ruangan.
Aku yang ditinggalkan sendiri dalam ruangan memegang wadah makannya yang
dibawanya. Sisa hariku kulalui dengan rasa bahagia menyelimuti diriku.
Seperti kemarin malam, aku pulang membawa wadah makanan dari Lience.
Kali ini yang menggantikan sesiku adalah Min Seong. Jong Yeol dikabarkan sedang
tak enak badan. Ini lah yang aku bangga pada pemuda dari negaraku. Mereka mau
meggantikan satu sama lain ketika ada yang merasa sakit. Aku membagikan
makananku kepada semua kawanku di tenda. Selama yang lain menyantap makanan,
Jong Yeol meringkuk di ranjangnya.
Aku datang ke tendanya membawa makanan untuknya. Kulihat wajahnya
sedikit pucat dari biasanya. Aku merasa sangat sedih melihat sahabatku
terbaring dengan wajah pucat. Tak hanya makanan aku membawa selimutku untuknya.
Aku sangat tahu rasanya angin malam lebih menusuk ketika sedang tidak enak
badan.
Setelah kupastikan ia makan dan beristirahat aku kembali ke api unggun
untuk mencuci wadah milik Lience. Setelah semua kegiatan telah kulakukan. Aku
berbaring di kasurku dengan kebahagian menyelimuti diriku. Aku tertidur lelap
ditengah dinginnya angin malam.
***
Pagi ini terasa lebih indah dari hari-hari sebelumnya. Kukenakan pakaian
yang paling bersih dan rapi. Mengerjakan tugas piket mencari bahan makanan
lebih pagi dibanding kawanku yang lain. Janji bertemu dengan Lience membuatku
sangat bersemangat. Setelah kupastikan tugasku selesai aku mendatangi tenda
Jong Yeol. Ia sudah siap dengan seragamnya. Wajahnya sudah segar dan tak pucat
lagi.
Aku berpamitan pada semua kawan-kawanku. Kepergianku diantar dengan
olok-olok dari mereka. Kuhiraukan semua olokan itu. Pikiranku hanya dipenuhi
oleh Lience. Aku memegang erat wadah
milik Lience. Langkahku terasa ringan ketika menyusuri jalanan yang berbatu.
Aku tetap memberi hormat kepada para pasukan Jepang. aku menunggu kedatangan
Lience di depan pos tahanan.
Setelah menunggu sekian lama. Lience muncul dengan baju berwarna merah
muda. Semakin cantik wajahnya saat mengenakan pakaian itu. Kami tersipu malu
memandang satu sama lain. aku memberanikan diri mengajaknya berjalan-jalan di
sekitar kota. Kami berbincang-bincang mengenai banyak hal.
Tak hanya hari ini, hari-hari selanjutnya kami sering berjalan-jalan
mengelilingi desa bersama-sama. Hubungan kami semakin lama semakin dekat. Kami
sudah berbagi banyak hal mengenai masalah pribadi masing-masing. Kedekatan kami
didukung oleh kakaknya Lience. Bahkan aku sudah meminta izinnya untuk meminang
adiknya.
***
Sudah satu tahun aku menikah dengan gadis cantik bernama Lience Wenas.
Bahkan kami sudah memiliki seorang putra yang kunamai Eddy Jawan. Aku
memutuskan untuk masuk islam sebelum meminang Lience agar bisa menjadi imam
yang baik baginya. Kini rutinitasku bukan lagi di tenda penjaga tahanan. Aku
memutuskan untuk pindah ke rumah peninggalan orang tua Lience. Di rumah kecil
ini, keluarga kecil kami berbagi kebahagiaan satu sama lain.
Belum lama putraku lahir, seminggu setelahnya terdengar kabar kekalahan
Jepang dan menyerahnya Jepang kepada Belanda. Belanda dikabarkan sudah memasuki
wilayah Jawa. Semua pasukan dibawah pimpinan Jepang ditarik kembali oleh
Jepang. semua kawanku memilih untuk kembali bersama Jepang ke Korea. Tapi tidak
dengaku, aku tak bisa meninggalkan istri dan anakku sendirian dibawah jajahan
Belanda. Aku bersama beberapa kawanku termasuk Jong Yeol memilih untuk kabur
dari Jepang dan berpindah ke Garut.
Di sini, di garut aku berbaur dengan warga pribumi. Bergabung melawan
pasukan Belanda. Aku mengajari para pemuda ilmu perang dan cara merakit sejata
dan bom yang pernah kuajari dahulu. Aku memutuskan bergabung dengan Pasukan
Pangeran Pakpak di bawah pimpinan Mayor Saoed Morstofa Kosasih. Setiap harinya
aku berpamitan dengan istri dan anakku untuk melatih para pemuda. Aku sudah
merasa Indonesia sebagai negaraku sendiri. Warga Garut pun menerima
kedatanganku. Aku diberi nama Komaruddin oleh warga karena ide cemerlangku
mengenai strategi perang.
***
Pagi ini, aku berpamitan kepada istriku. Aku menitipkan anak dan istriku
kepada ibu-ibu lain yang diam di tenda gerilya. Aku memandang wajah anakku yang
tertidur pulas di dekapan ibunya. Ku kecup kening kedua orang yang sangat
kuncintai sebelum berangkat bersama pasukan lainnya.
“Hari ini kita akan mengebom jalur Belanda di Cimanuk dan merampas seluruh
senjata dan bahan pangan mereka.” Tuturku kepada yang lain
“ Semua persiapan untuk merakit bom sudah disiapkan?” tanyaku kepada
pemuda bernama Sumirjan.
Pemuda itu menggangukkan kepalanya kepadaku. Aku bersama pemuda yang
lain langsung berkutat merakit bom untuk jalur di Cimanuk. Ketika matahari terik
tepat diatas kepala kami. Kami bergegas berangkat mendekati jalur kereta di
Cimanuk. Kami langsung menyalakan bom rakitan kami di jalur kereta Cimanuk.
Tujuan kami merusak jalur kereta agar Belanda tidak bisa masuk ke wilayah Garut.
“Semuanya bersiap dengan senjatanya masing-masing!” perintah Mayor
Kosasih kepada pasukan.
“Komaruddin kau bersiaplah melempar bom rakitan ke arah kereta mereka.”
Perintah Mayor Kosasih kepadaku.
“ Siap, Mayor!!” Jawabku sebari bersiap memegang bom yang akan kulempar.
Tepat ketika kereta Belanda terhenti akibat jalur yang rusak. Aku
melemparkan bom ke arah kereta. Pasukan yang lain mulai menembaki pasukan
Belanda. Terjadi aksi baku tembak yang mengorbankan kedua belah pihak. Perlahan
pasukan Belanda berguguran. Bahuku tertembak saat hendak melindungi Mayor
Kosasih. Aku menahan sakit dan terus maju untuk merampas semua persenjataan dan
bawaan yang mereka bawa.
Serangan di Cimanuk akhirnya berakhir pada waktu menuju magrib. Semua
pasukan bersorak bahagia setelah berhasil merampas barang bawaan Belanda. Aku
memegangi pundaku yang tertembak timah panas Belanda.
“ Komar, kau baik-baik saja?” Tanya Jong Cheol kepadaku penuh khawatir.
“ Aku baik-baik saja kawan. Mari kita bergegas pulang, istri dan anakku
menunggu di tenda.” Ucapku untuk meredakan kekhawatiran Jong Cheol.
Pasukan kami pulang membawa banyak senjata dan perbekalan. Kami berhasil
menaklukan pasukan Belanda di Cimanuk. Disinari lentera dan sinar bulan, kami
melangkah pulang menuju tenda kami, di tengah hutan. Para istri dan anak
menunggu kedatangan kami di depan tenda dengan penuh rasa khawatir.
“ Komar suamiku, kenapa dengan bahumu?” Istriku menghampiriku khawatir.
“ Aku hanya tertembak tadi ketika melindungi Mayor Kosasih.” Aku
tersenyum berusaha menenangkan istriku.
“ Adakah bagian tubuhmu yang terluka lagi? Ikuti aku biar aku obati.”
Istriku penuh perhatian memeriksa seluruh tubuhku.
“ Kau memang wanita yang penuh perhatian dan kasih sayang, betapa
beruntungnya aku memilikimu. Maaf jika kau harus hidup bergerilya bersamaku.”
Aku merasa menyesal telah menyeret Lience bersamaku.
“ Sudahlah jangan berkata begitu. Tanpa kau disisiku aku mungkin akan
kesepian menunggu kakakku dibebaskan.” Istriku membersihkan lukaku dengan
lembut.
“ Dimana Eddy? Apa dia sudah tidur?” aku bertanya karena merindukan
putraku satu-satunya.
“ Akang ini bagaimana, ini sudah tengah malam. Anak bayi seperti Eddy
sudah terlelap dibuai bunga tidur.” Istriku berkata dengan nada gurauan .
Aku tersenyum kepada istriku. Aku selalu bersyukur dipertemukan
dengannya. Ia menjadi semangatku untuk terus menjalani hidup. Ia menjadi
penghibur diri ditengah pahitnya kehidupan yang aku jalani. Meski aku tak bisa
pulang ke negeri asalku Korea. Aku menemukan alasan yang kuat untuk tetap
tinggal di negeri ini. Bagiku kemerdekaan bukan hanya hak negaraku tapi semua
negara.
Di tanah Indonesia ataupun tanah Korea, kami sama-sama melawan penjajah
dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Bagiku berjuang di Indonesia sama saja
seperti berjuang di Korea. Dengan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia maka aku
melindungi keluargaku di Indonesia. Cukup sudah aku gagal melindungi keluargaku
di Korea. Biarkan kutebus dengan perjuanganku melindungi keluarga kecilku dan
bangsa Indonesia.
***
Aku terbangun pada dini hari. Membangunkan istriku dan para penghuni
tenda lain untuk solat subuh berjamaah. Baru saja kami selesai solat, seorang
pemuda berlari menghampiri kami.
“Akang Komar, ada berita kang.” Serunya dengan napas tak beraturan.
“ Sepertinya kita harus perpindah kang. Pasukan Belanda sedang bergerak
mencari Akang dan anggota lainnya.” kabar buruk disampaikan oleh pemuda itu.
“ Bagaimana dengan Mayor Kosasih di markas sana?” tanyaku
mengkhawatirkan keadaan pemimpin kami.
“ Pasukan di sana juga sudah diberi kabar kang.” Jawab pemuda itu.
Aku merasa khawatir mendengar berita tersebut. Semua penduduk tampak
gelisah setelah mendengar ucapan pemuda itu. Tanpa pikir panjang, kami langsung
merapikan semua barang bawaan dan membongkar semua tenda. Tepat saat matahari
mulai terbit semua perlengkapan kami sudah siap. Beberapa pemuda kusuruh membawa
tenda dan keperluan lainnya. Para wanita dan anak-anak aku suruh berangkat
bersama beberapa pemuda menuju hutan yang lebih dalam.
Setiap pemuda dibekali satu senjata dan perlengkapan merakit bom.
Sisanya aku, Jong Yeol, Hasegawa, Aoki dan beberapa pasukan lain berjaga untuk
memperlambat gerak pasukan Belanda. Memberi waktu bagi yang lain untuk berpindah.
“ Kang, tak bisa kah akang ikut denganku? Di sana terlalu bahaya kang.”
Bujuk istriku penuh ketakutan dan kekhawatiran.
“ Pergilah Lience, bawa Eddy bersamamu. Biarkan aku menyusulmu nanti.”
Aku berusaha menenangkan istriku.
“ Ayo Lience, waktu kita tak banyak. Percayalah aku disini untuk
melindungimu dan Eddy.” Aku mengecup kening kedua manusia yang paling aku
sayangi.
“ Lience, Ayo, Nak. Ini demi anakmu Eddy.” Seorang ibu berusaha membujuk
istriku.
Aku tersenyum kearah Lience yang masih berat hati meninggalkanku.
Beberapa ibu-ibu mencoba menenangkan Lience. Aku bersama pasukanku bergegas
menyusuri jalan menuju luar hutan. Dengan perlengkapan seadanya yang kami bawa.
Kami tetap tegar dan berani. Keamanan yang lain menjadi prioritas kami saat
ini.
Tak sangka di tengah perjalanan kami dikepung oleh pasukan Belanda.
Terjadi aksi baku tembak yang menewaskan sahabatku Jong Yeol. Kekuatan pasukan
kami kian melemah dengan gugurnya beberapa anggota. Akhirnya aku bersama
anggota yang tersisa berhasil ditangkap.
Tangaku diikat dan digiring menuju suatu tempat yang tidak aku ketahui.
Sepanjang jalan masyarakat menyanyikan lagu Indonesia Raya untukku dan beberapa
anggota yang tertangkap. Mereka mengiringi setiap langkahku. Banyak masyarakat
yang menangis menatap diriku dan prajurit lainnya. mereka menyerukan kata
merdeka. Membuat jiwaku kembali membara.
Untuk istriku, Lience maafkan aku yang tak bisa menyusulmu. Aku tak bisa
berkumpul kembali dengan keluarga kecil kita. Untuk putra tercintaku, Eddy,
maafkan bapakmu yang harus meninggalkanmu saat usiamu menginjak setahun.
Maafkan bapakmu yang tidak bisa mendampingi hari-harimu hingga kau dewasa
kelak. Tapi percayalah bahwa cinta dan kasih sayangku untuk istri dan anakku,
juga negeri Indonesia dan Korea sangat besar.
Semua anggota diadili hukuman mati.
Aku akan membuat kematianku terhormat, akan kutunjukkan jati diri kami
pejuang kemerdekaan bangsa. Akan ku tunjukkan semangat perjuangan dalam jiwa
kami.
“MERDEKAAA!!!” Teriakku dengan lantang sebelum timah panas menembus
kepalaku.
***
Terimakasih atas perhatiannya
kritik dan saran yang membangun sangat diterima
Komentar